HUKUM PAJAK
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari
kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan
bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan
pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak
bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara
untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara
dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak,
sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada
anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut
sesuai dengan sistem self assessment yang
dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
Eksistensi pajak merupakan sumber
pendapatan utama sebuah negara, karena itu merupakan isu strategis yang selalu
menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah dilakukan pembahasan RUU
Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan. Penduduk Indonesia sebesar 215 juta jiwa merupakan
potensi pajak yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah wajib pajak/
pembayar pajak hanya mencapai 3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184
pembayar pajak orang pribadi dan 1.047.876 lainnya pembayar pajak badan. Hal
ini menandakan bahwa kebijakan perpajakan tidak cukup kuat
untuk melakukan ekstensifikasi pajak di samping proses pendataan wajib pajak
yang kurang gencar dilakukan.
Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan
tak lagi disangsikan. Karena itu wajar jika pemerintah terus berupaya menggali
berbagai potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax
compliance (kepatuhan pajak) dari masyarakat. Namun demikian, kepatuhan pajak
yang bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar
pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan
perpajakan yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak
(masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun yang bersumber dari sistem
perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan hal yang
kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan secara sinergis dan
komprehensif.
Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk
menciptakan masyarakat agar memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban
membayar pajak tidak terpaku pada wajib pajak belaka, tapi perlu
mempertimbangkan aspek-aspek lainnya secara korelatif. Dengan pertimbangan yang
simultan, solusi alternatif yang signifikan akan lebih memungkinkan. Dari
begitu banyak dan keanekaragaman hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya
adalah wajib pajak orang pribadi yaitu orang yang memperoleh
penghasilan baik sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan
ratusan perusahaan atau seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai
menengah atau pegawai rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaris
, pengacara.
Sebelum sampai pada pembahasan tentang
Wajib Pajak Pribadi, sebagai cakrawala pengetahuan perpajakan perlu diketahui
terlebih dahulu tentang pengertian, jenis dan macam pajak serta manfaat pajak
yang berlaku di Indonesia.
Wajib Pajak Pribadi adalah orang yang
memperoleh penghasilan baik sebagai seorang direktur dari satu, beberapa,
atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang pemegang saham atau komisaris atau
pegawai menengah atau pegawai rendah atau pekerja mandiri seperti dokter,
notaries , pengacara . Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki resiko mengalami
pemeriksaan pajak . Namun sering kali terjadi berbagai permasalahan mengenai
pembyaran pajak pribadi itu sendiri.
1. Bagaimanakah Perlakuan
PPh atas pengalihan tanah?
2. Bagimanakah Perlakuan
PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam?
Berkenaan
mengenai pengenaan pajak, pajak mempunyai latar belakang falsafah. Falasafah pajak
ini lebih lanjut lagi berdasarkan falsafah negara yaitu pancasila. Pasal 23 UUD
1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak yang berbunyi “segala pajak pajak
untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang” walaupun pasal 23 (2) UUD
1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak, namun pada dasarnya dalam
ketentuan ini tersirat Falsafah Pajak. Pajak harus berdasar undang-undang
karena dapat diibaratkan pajak adalah menyayat daging diri kita sendiri. Pajak
tidak memerikan imbalan yang secara langsung dapat dinikmati, atau dapat
dikatakan pajak tidak memberikan imbalan.
Selain
memiliki dasar falsafah dalam pengenaan pajak terdapat asas-asas menurut
Falsafah Hukum yaitu asas-asas keadilan, untuk memberikan
dasar menyatakan keadilannya, terdapat teori-teori pajak yang dapat diterapkan
dalam pemungutan pajak dalam masyarakat, dan juga terdapat sistem pemungutan
pajak diantaranya adalah:
Teori
Pemungutan Pajak
1. Teori
asuransi: Pajak dianggap sama dengan premi yang harus dibayar rakyat karena
negara yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dan
lingkungan di seluruh wilayah negara.
2. Teori
Kepentingan: Teori kepentingan hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang
harus dipungut pemerintah kepada rakyat yang disesuaikan dengan kepentingan
masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya termasuk
perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya.
3. Teori
Daya Pikul: Pajak harus dibayar menurut daya pikul atau kemampuan seseorang.
4. Teori
Bakti: teori yang berdasar atas paham organisasi negara yang mengajarkan bahwa
negara negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan
kepentingan umum. Dengan organisasi dan tindakan negara seperti itu, di satu
sisi negara mempunyai hak untuk memungut pajak.
5. Teori
Gaya Beli: penyelenggaraan kepentingan rakyat dapat dapat dianggap sebagai
dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan juga bukan
kepentingan negara melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.
Asas Pemungutan Pajak
1. Asas
Domisisli: Asas ini didasarkan pada domisili atau tempat tinggal wajib pajak di
suatu negara. Negara tempat tinggal seseorang berhak mengenakan pajak terhadap
seseorang tersebut tanpa melihat darimana sumber penghasilan atau pendapatanya
diperoleh dan tanpa melohat kebangsaan atau kewarga negarann wajib pajak
tersebut.
2. Asas
Sumber: Dalam asas ini pemungutan didasarkan pada adanya sumber pendapatan alam
suatu negara. Negara menjadi tempat sumber pendapatan tersebut berhak
memungut pajak tanpa memperhatikan domisili dan kewarganegaraan wajib pajak.
3. Asas
Kebangsaan: Pada asas inivpemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan
seseorang. Yang berhak memungut pajak seseorang adalah negara yang menjadi
kebangsaan orang tersebut.
Sistem Pemungutan Pajak
1. Official
Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah
pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak dihitung
dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiscus.
2. Self
Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah
pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib ajak dihitung sendiri oleh wajib
pajak.
Dasar Hukum
* Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
* Undang-undang
No. 10/1994 Undang-Undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Pasal 4 ayat (2). “ Atas Pengasilan
berupa bungan deposito dan tabungan dan tabungan-tabungan lainya, penghasilan
dari transaksi saham dan sekuritas lainya di bursa efek, penghasilan dari
pengalihan harat berupa tanah dan atau tabungan serta pengasilan
tertentu lainya, pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah.
* Undang-Undang
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan.
* Undang-undang
nomor: 7 tahun 1991tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983
tentang pajak penghasilan
* Undang-undang
nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi
yang bertolak keluar negri
* UUD
1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan
undang-undang
* UU No.
6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
* UU No.
8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
* UU No.
12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
* UU No.
13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
* UU No.
21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007
Pengertian
pajak
Beberapa ahli memberikan pengertian antara
pajak antara yang satu dengan yang lainnya. Diantara beberapa pengertian yang
diberikan oleh para ahli adalah sebgai berikut.
1. Menurut
Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan
dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa
mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah
dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan
2. Menurut Prof. DR.
Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat kepad
negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk
‘public saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public
investment’. Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak
ialah:
* Pajak dipungut
berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya;
* Sifatnya dapat
dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan dapat
dikenakan sanksi;
* Dalam pembayaran
pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra[restai secara langsung oleh
pemerintah;
* Pajak dipungut oleh
Negara baik pemerintah pusat maupun daerah;
* Pajak
diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
3. Menurut
Prof. DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang
melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi
yang dapat ditunjukkan dalam hal individual; maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah’
4. Menurut
Ray M. Sommer, Hershel M. Andersen dan Horace R. Brock: “A tax can be
defined meaningfully as any nonpenal yet compulsory transfer of recourses from
the private to the public sector, levied on the basis of predetermined criteria
without reference to specific benefits receifed, so as to accomplish some of a
nation’s economic and social objectives”
Sebenarnya masih banyak lagi para ahli dan
pakar perpajakan yang mengemukakan pengertian pajak dengan menggunakan kalimat
masing-masing.
Jenis
Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di
Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat
adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini
sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan.
Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah
baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat
dibagi menjadi :
1. Pajak
Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari
pemerintah pusat yang dipungut atas penghasilan dari semua orang yang berada di
wilayah Republik Indonesia .
2. Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas
konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang
Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh
Undang-undang PPN.
3. PajakPenjualan
atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang
kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud
dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
b. barang
tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
c. Barang
tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
d. Pada
umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
e. Barang
tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
f. Apabila
dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu
ketertiban masyarakat.
4. Bea
Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan
atas dokumen, dengan menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya
dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak
bentuk KPU 35 Kode 006.
5. Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang
terdiri atas tanah dan bangunan (property tax).
6. Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB
adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun
realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik
Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Selain pajak-pajak yang dikelola
pemerintah daerah diatas juga terdapat pajak yang dipungut oleh Pemerintah
Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:
1. Pajak
Propinsi
a. Pajak
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
b. Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
c. Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
d. Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
2. Pajak
Kabupaten Kota
a. Pajak
Hotel,
b. Pajak
Restoran,
c. Pajak
Hiburan,
d. Pajak
Reklame,
e. Pajak
Penerangan Jalan,
f. Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
g. Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
Selain yang dibahas diatas, dalam parktek
sering dikenakan pungutan yang disebut sumbangan wajib. Sumbangan wajib
biasanya tidak memiliki kejelasan balas jasa maupun imabalanya. Sumbangan atau
sumangan wajib yang didasarkan atas ketentuan yang sah dan hasilnya masuk ke
kas negara maka pungutan tersebut merupakan pungutan yang legal.
Manfaat
Pajak
Sebagaimana halnya perekonomian dalam
suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal
sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama
penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk
dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai
sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti
jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai
dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan
untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan
masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal
dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya
dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa
peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam
menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Disamping fungsi budgeter (fungsi
penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan
dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada
masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan
Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar
merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan.
Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat
dapat dikurangi secara maksimal.
Pajak
Penghasilan
Pajak
penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut
pada seseorang atas pengahsilan dari semua orang yang berda di wilayah
Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhir tahun
atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak penghasilan diatur dalam undang-undang
diantaranya adalah
1. Undang-undang nomor: 7
tahun 1991tentangperubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak
penghasilan
2. Undang-undang nomor 46
tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang
bertolak keluar negri
3. UUD 1945 pasal23 ayat
(2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
4. UU No. 6 Tahun 1983
ttg KUP jo. UU No. 9/1994
5. UU No. 7 Tahun 1983
ttg PPh jo. UU No. 10/1994
6. UU No. 8 Tahun 1983
ttg PPN jo. UU No. 11/1994
7. UU No. 12 Tahun 1985
ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
8. UU No. 13 Tahun 1985
ttg Bea Materai
9. UU No. 21 Tahun 1997
ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007
Dalam Undang-Unadang Pajak Penghasilan
sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan subjek PPh, namun secara umum
pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. UU PPh menegaskan
ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh yaitu:
1. Orang
pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
2. Badan
yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainya,
BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan,
Firma, Kongsi, Koperasi Yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana
pensiun, dan Bentuk Badan Usaha lainnya.
3. Bentuk
Usaha Tetap (BUT).
BUT
adalah bentuk usaha yang dikenakan orang pribadi yang tidak beretempat tinggal
di Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.
Perlakuan
PPh atas pengalihan tanah.
Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan
berdasarkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal 4 ayat (2). “Atas
penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan
dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan
dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu
lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
UU No. 10/1994 tersebut merupakan UU yang
mengubah UU No. 7/1983. Dalam UU No.7/1983 pasal 4 ayat (2) hanya
mencakup pengenaan PPh atas bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya.
Kemudian di dalam perubahan UU yang dituangkan dalam UU No.10/1994, cakupan
Pasal 4 ayat (2) diperluas sehingga mencakup juga penghasilan dari transaksi
saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta
berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya. Walaupun
tidak ditegaskan penghasilan-penghasilan yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2)
diperlakukan sebagai final, pada kenyataannya hampir semua penghasilan dimaksud
dikenakan PPh final. Pengenaan pajak atas penghasilan-penghasilan yang dicakup
di Pasal 4 ayat (2) tersebut diatur dengan peraturan pemerintah.
Perlakuan pajak atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan telah mengalami perubahan sejak
diterbitkannya PP 48/1994 sampai yang terakhir yaitu PP 79/1999, khususnya yang
menyangkut orang pribadi. Berdasarkan PP 48/1994 orang pribadi yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/bangunan dikenai PPh final sebesar 5% dari jumlah
bruto. Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada semua orang pribadi, tanpa
membedakan apakah orang yang bersangkutan mempunyai kegiatan usaha pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan
PP 27/1996 yang membedakan antara orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan orang pribadi selain yang
mempunyai usaha tersebut.
Berdasarkan PP 27/1996 pengenaan PPh final
diterapkan terhadap:
1. orang
pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, dan
2. orang
pribadi yang mempunyai penghasilan diatas PTKP, yang melakukan pengalihan hak
dengan nilai kurang dari Rp60 juta.
PP 27/1996 tidak secara jelas mengatur
perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut apabila dilakukan oleh orang pribadi
yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai pengalihannya melebihi Rp60
juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari PP dimaksud maka perlakuan PPh final
hanya terbatas kepada dua kelompok wajib pajak sebagaimana disebutkan di atas.
Dengan demikian, apabila seorang wajib
pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan menjual hak atas tanah dan/atau
bangunan, maka keuntungan dari pengalihan tersebut akan dikenakan PPh dengan
tarif umum. Perlakuan ini sama dengan ketentuan dari PP 79/1999. Perlakuan PPh
terhadap orang pribadi yang usaha pokoknya bukan jual beli hak atas tanah
dan/atau bangunan memperoleh perlakuan yang kurang adil bila dibandingkan
dengan orang pribadi yang mempunyai usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan. Pengenaan PPh yang tidak final berarti bahwa PPh yang disetor sebesar
5% dari nilai pengalihan merupakan pembayaran pendahuluan dari seluruh PPh yang
terutang dalam tahun yang bersangkutan.
Kesulitan akan timbul dalam menghitung
keuntungan dari pengalihan tersebut, terutama untuk harta yang telah dimiliki
dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan ketidakadilan dari
segi beban pajak yang ditanggung terutama untuk harta yang sudah dimiliki dalam
kurun waktu yang lama. Harga perolehan yang relatif jauh lebih rendah dari
harga peralihannya akan menyebabkan beban pajak yang lebih tinggi. Faktor
penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak menerapkan
indeksasi untuk harta tetap untuk menentukan harga perolehan dari harta tetap
untuk keperluan perpajakan.
Di samping itu, wajib pajak orang pribadi
yang tidak menjalankan usaha cenderung untuk tidak melakukan pencatatan
sehingga kemungkinan besar sulit untuk mentrasir kembali harga perolehan dari
harta dimaksud termasuk dokumen pendukungnya. Sebaliknya wajib pajak orang
pribadi yang menjalankan usaha jual beli tanah dan bangunan diterapkan
pengenaan pajak yang bersifat final, padahal wajib pajak kelompok ini
seharusnya mempunyai catatan atau pembukuan, sehingga harga perolehannya
seharusnya dapat diketahui.
PP 27/1996 kemudian diubah dengan PP
79/1999 yang sepanjang menyangkut orang pribadi, memberi penegasan bahwa wajib
pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan dari jual beli hak atas tanah
dan/atau bangunan, keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak tetapi
tidak final.
Perlakuan
PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.
Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa
untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, penghasilan bruto dikurangi dengan
biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya
pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa seperti misalnya
upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah,
premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan
atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun, iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya
disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs
mata uang asing, biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;
Rincian dari biaya-biaya yang boleh
dikurangkan sebagaimana disebutkan di atas yang menyangkut "kerugian"
adalah: kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing. Salah
satu jenis kerugian yang dapat dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena
penjualan harta yang dimiliki dan digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita
karena harta yang dipergunakan dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus
dibebankan melalui mekanisme yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu
penarikan harta karena harta tersebut dijual atau dialihkan dan penarikan harta
karena sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam, maka penarikan harta
karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta tersebut
adalah harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya dibebankan
sebagai kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan maka jumlah penggantian
asuransinya dibukukan sebagai penghasilan.
Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang
tidak dapat disusutkan atau harta yang tidak dipakai dalam usaha? UU PPh secara
umum memperlakukan semua jenis penghasilan sama artinya UU ini tidak menganut
pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya pengenaan pajak atas
penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas dasar pemikiran yang
demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana
alam seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu bencana
yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib pajak dapat
membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya kerugian
yang diderita karena kehilangan persediaan barang tersebut.
UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan
barang di Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari pasal itu menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga jenis barang, yaitu barang jadi
atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan
pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk keperluan penghitungan harga
pokok, metode yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan tersebut, untuk
menghitung kerugian yang diderita karena bencana cara yang sama juga sebaiknya
diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang yang sama terhadap kerugian
karena rusaknya persediaan barang akan memberikan perlakuan yang seimbang dan
netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk memberi kesempatan
mengklaim kerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah menentukan
dokumen-dokumen yang harus disajikan sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian
karena bencana. Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi
karena terjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk:
penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25);
kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti pada saat
dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan (bila
diperlukan).
Komentar
Posting Komentar